Selasa, 15 Maret 2016

Problematikan dan Belenggu Nikah Siri

Dengan perkembangan zaman perkawinan siri yg biasanya dilakukan oleh kalangan tertentu..sekarang hampir semua kalangan baik di kota maupun di desa, baik kalangan atas maupun kalangan bawah dengan berbagai alasan tertentu melakukan nikah siri, pertanyaanya apakah resiko akibat dari perkawinan yg dilaksanakan secara siri...

Dikalangan ulama, nikah siri masih menjadi perdebatan, sehingga susah menetapkan bahwa nikah siri itu sah atau tidak. Hal ini dikarenakan masih banyak ulama dan juga sebagian masyarakat yang menganggap bahwa nikah siri lebih baik dari pada perzinahan. Padahal kalau dilihat dari berbagai kasus yang ada, menyatakan nikah siri tampak lebih banyak menimbulkan kemudharatan dari pada manfaatnya. Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal dikalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat dan dengan sendirinya tidak ada “walimah al-ursy”. Kalangan ulama dan cendikiawan Indonesia, terjadi perbedaan pandangan tentang nikah siri, ada yang melarang, memperbolehkan, ada pula yang berada pada pada posisi tengah.
Perbedaan pandangan tersebut sangat lumrah terjadi karena masing-masing pihak berargumen dengan interprestasinya sendiri. Oleh karena itu, yang penting adalah jangan sampai ada pihak yang berusaha memonopoli tafsir sesuai dengan hawa nafsunya demi memenuhi maksud dan kepentingannya semata. Tafsir Islam didasarkan pada sejumlah argumen dan rujukan, baik berasal dari Al Qur’an, hadis, ijma’, qiyas maupun ijtihad. Sebagian ulama menilai nikah siri dihalalkan, asal memenuhi syarat dan rukun nikah. Pasalnya, Islam tidak mewajibkan pencatatan nikah oleh negara. Namun, Dadang Hawari, psikiater juga ulama dan konsultan nikah Indonesia tidak sepakat untuk alasan tersebut. Menurutnya hukum nikah siri tidak hanya sah sebab telah terjadi upaya mengakali nikah dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia. Ia menilai, nikah siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih.

Menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dikatakan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut undang-undang ini bukan hanya sebagai suatu kontrak keperdataan biasa, namun juga mempunyai nilai ibadah, selain itu suatu perkawinan sangat erat sekali hubungannya dengan agama yang dianut seseorang.
Terutama dengan keabsahan perkawinan. Hal ini dapat kita lihat pada undang-undang yang sama pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. “selanjutnya pasal (2) dikatakan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sehingga resmi tercatat pada KUA dan mendapatkan surat nikah. Berbeda dengan pendapat Dadang Hawari, KH. Tochri Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena Islam tidak pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari segi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari zina. Namun ia setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun nikahnya menjadi tidak berkah.
Sementara menurut Wasit Aulawi, seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan direktur pembinaan Badan Peradilan Agama, menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu. Al Qur’an menyebutkannya dengan “mitsaqan galizhan”. Nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari nikah, yaitu : agama, hukum dan sosial, nikah yang di syariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka akan pincang.
Demikian pula M. Daud Ali, salah seorang ahli hukum Indonesia, mengemukakan bahwa nikah siri merupakan nikah bermasalah, sebab menurutnya nikah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sesuatu yang sengaja disembunyikan, biasanya mengandung atau menyimpan masalah. Di Indonesia, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagi orang Islam, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UU RI No.1 Tahun 1974 dan dicatat, menurut ayat (2) pasal yang sama.
Dari berbagai argumen tersebut terlihat bahwa baik itu ulama fikih klasik, kontemporer dan pakar hukum Indonesia maupun ulama Indonesia umumnya menentang nikah siri, sebab dapat menimbulkan mudarat, meskipun tidak dapat dipungkiri ada sebagian ulama yang membolehkan, dengan alasan sebagai upaya menghindari zina. Akan tetapi, untuk menghindari zina tidak mesti dengan menikah siri, nikah yang dilakukan dengan proses yang benar yang diakui oleh hukum agama dan negara akan lebih menjamin masa depan lembaga nikah tersebut.
Pengertian dan status nikah siri
Kata “sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Ara, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi fiqh Maliki, nikah sirri ialah : Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat”. Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut Madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukum had. Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup. Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa persepsi/asumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut :
1. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Menurut para ulama mereka sepakat bahwa perkawinan jelas ini adalah perkawinan yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perizinan sebagaimana hadist nabi yang berbunyi “bahwa suatu pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina, empat pihak itu adalah suami, wali dan dua orang saksi yang adil.
2. Perkawinan siri yakni perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 22 PP No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UUP, Pasal 8 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Cuma saja perkawinan tersebut tidak dicatatkan oleh pegawai Pencatat Nikah (PPN) ataukah KUA. Dari pembagian perkawinan siri di atas, hanya perkawinan yang versi pertama dapat dikatakan sebagai perkawinan siri dimana perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan berdasarkan hukum Islam.
Dan terhadap perkawinan demikian dalam kacamata undang-undang perkawinan, syarat materilnya tidak terpenuhi. Artinya perkawinan tersebut karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah berarti sudah otomatis dianggap tidak pernah ada. Dan lagi-lagi berdasarkan hukum Islam anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut dikategorikan sebagai anak zina.
Dalam kasus yang seperti ini sama sekali tidak dapat lagi dilakukan pencatatan perkawinan, atau melalui pengesahan nikah, karena memang sedari awal perkawinan itu batal demi hukum.
Beda halnya dengan perkawinan siri ini jenis kedua. Dan saya sendiri menganggap bahwa perkawinan jenis tersebut bukan kategori perkawinan siri. Oleh karena sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Kalau ditarik dari maksud Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan (UUP). Perkawinan tersebut telah dilaksanakan sebagai perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing yaitu agama Islam.
Perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syarat dan rukun nikah adalah perkawinan yang sah. Sehingga lebih tepat kalau kita mengatakan adalah perkawinan sah yang tersembunyi. Oleh karena belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Terlepas dari konsekuensi bahwa dengan tidak adanya dampak hukum bagi salah satu pihak. Dengan tidak adanya pencatatan, misalnya isteri tidak dapat memiliki kekuatan legitimasi untuk mendapatkan nafkah dari suaminya jika suatu waktu terjadi perceraian. Demikian halnya juga anak dari hasil perkawinan itu. Oleh negara dan hukum positif kita menganggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah sehingga sang anak dapat memperoleh warisan dari anaknya. Karena hukum dimana-mana memerlukan pembuktian otentik.
Permasalahan tersebut, perihal tidak adanya kekuatan legitimasi bagi istri, hukum sudah memberikan ruang untuk melakukan pencatatan meskipun perkawinan sudah lama berlangsung, Undang-undang memberikan solusi dengan dibukanya peluang permintaan ‘itsbat’ nikah ke Pengadilan Agama. Yaitu permohonan agar pernikahan tersebut (tidak dicatatkan/tidak punya akte nikah) dinyatakan sah, dan selanjutnya diperintahkan kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk mencatat perkawinan semacam ini dan memberikan kutipan Akta Nikah berdasarkan keputusan Pengadilan Agama. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat 2-4 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, ketentuan ini juga dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 31 ayat 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.
Konsekuensi hukum terhadap anak yang dilahirkan
Ada dua aspek dampak dari sebuah perkawinan (akad nikah), baik yang dilakukan secara tercatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) maupun tidak yakni akad yang rusak/batal/fasid, sebagaimana ditegaskan jumhur ulama yaitu :
1. Akad yang sah sempurna
Ialah akad yang telah memenuhi semua rukun dan semua syarat sahnya nikah. Akad nikah sempurna ini membawa akibat hukum yang luas, antara lain suami wajib memberi mahar, nafkah lahir (makan, pakaian dan tempat tinggal) dan nafkah batin, isteri wajib taat dan setia kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami isteri dan adanya hubungan nasab anaknya dengan bapaknya.
2. Akad yang rusak atau batal/fasid
Ialah akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah tidak terpenuhi, misalnya antara suami isteri ternyata masih ada hubungan mahram, atau wanitanya masih terikat perkawinannya dengan orang lain, atau kawin tanpa wali atau saksi. Hukumnya wajib memisahkan diri atau dipisahkan atas putusan hakim segera setelah diketahui cacat rukun atau syarat sah nikahnya. Dan nikahnya tidak membawa akibat hukum apapun, jika belum terjadi hubungan seksual antara keduanya. Dengan demikian, tidak ada mahar, nafkah dan iddah dan tidak ada pula hak mewarisi antara keduanya. Tetapi jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya, maka wajib difasakh nikahnya, sekalipun telah cukup lama hidup sebagai suami isteri. Dan dalam hal ini, isteri berhak mendapat mahar dan ada iddahnya, serta si anak punya hubungan nasab dengan bapaknya.
Mengenai status anak yang lahir dari nikah siri, maka apabila nikah siri itu diartikan menurut terminologi fiqh (nikah yang dirahasiakan atas permintaan suami), maka menurut hukum Islam, anak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sebab, anak yang lahir dari hubungan syibhah saja ditetapkan nasabnya kepada bapak, apalagi nikah siri yang termasuk nikah yang diperselisihkan boleh dan sahnya oleh para ulama. Karena itu, nikah siri itu dianggap cacat/fasad yang ringan. Sedangkan menurut pandangan hukum positif, anaknya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Adapun status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) saja dari UU Perkawinan), maka menurut hukum Islam, anaknya sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Sedangkan menurut hukum positif, anaknya tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU perkawinan. Karena itu, si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (UU perkawinan pasal 43 dan kompilasi hukum Islam pasal 100).
Sumber:
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kalsel.kemenag.go.id
Kompilasi Hukum Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama :
Kota :
Pertanyaan: