Kamis, 17 Maret 2016

Hukum Perjanjian

HUBUNGAN ANTARA PERIKATAN DAN PERJANJIAN

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seroang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”.  

SISTEM TERBUKA DAN ASAS KONSENSUALISME DALAM HUKUM PERJANJIAN

Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (Bahasa Inggris “optional law”), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk, Misalnya, Undang-Undang hanya mengatur perjanjian-perjanjian  jual beli dan sewa menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan sewa beli, yang merupakan suatu campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asan konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat.Asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.  

SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Cakap untuk membuat suatu perjanjian Mengenai suatu hal tertentu Suatu sebab yang halal   Menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : Orang-orang yang belum dewasa Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang hafal. Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak, bahasa latin Causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.    

BATAL DAN PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void. Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa Inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda).    

SAAT DAN TEMPAT LAHIRNYA PERJANJIAN

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal-balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu perjanjian dan bila perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai kesepakatan dan bila kesepakatan itu tercapai. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam suatu kalangan, di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga satu setengah, maka tiaporang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu. Juga tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadaan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat ini pun penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.  

PERSONALIA DALAM SUATU PERJANJIAN

Yang dimaksudkan dengan personalia ini adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian . Lazimnya suatu perjanjian adalah “timbal balik atau bilateral”. Artinya: Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu. Apabila tidak demikian halnya, yaitu apabila pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban sebagai kebalikannya dari hak-hak itu, atau apabila pihak yang menerima kewajiban-kewajiban tidak memperoleh hak-hak sebagai kebalikannya, maka perjanjian yang demikian itu, adalah “unilateral atau sepihak”.Dan terhadap asas bahwa seorang tidak dapat mengikatkan diri atas nama sendiri dan minta ditetapkannya suatu janji ,melainkan untuk dirinya sendiri adalah suatu perkecualian yaitu dalam bentuk “janji untuk pihak ketiga” .  

PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN

Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu : Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang; Perjanjian untuk berbuat sesuatu; Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah : Jika kata-kata suatu perjanjian dapat dibarikan berbagai macam penafsiran ,maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu,daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian ,maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu dilaksanakan ,daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian,maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat dimana perjanjian itu dilaksanakan. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain ,tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.      

“WANPRESTASI” DAN AKIBAT-AKIBATNYA

Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yagn tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk (Bandingkan : wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandand  perbuatan buruk). Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam : tidak melakukan apa yang disanggupi atau dilakukannya; melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu); diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu : pertama  : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi; kedua : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; ketiga : peralihan resiko; keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Menurut pasal 1267 tersebut, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai itu : pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga (disingkat ganti rugi). Dengan sendirinya ia juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi, misalnya penggantian kerugian karena pemenuhan itu terlambat, atau kwalitet barangnya kurang dan lain sebagainya. Mungkin juga ia menuntut ganti-rugi saja, dalam hal mana ia dianggap telah melepaskan haknya untuk minta pemenuhan maupun pembatalan. Dan juga ia dapat menuntut pembatalan saja.  

PEMBELAAN DEBITUR YANG DITUDUH LALAI

Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk embebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu : Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus); Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak : bahasa Belanda : rechtsverwerking).  

RESIKO

Resiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah di perjalanan karena perahu yang mengangkutnya karam. Persoalan resiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam Hukum Perjanjian dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan resiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.  

JUAL BELI

Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual0 menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Jual beli merupakan suatu perjanjian konsensuil artinya, ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi, “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “obligatoir” saja! Jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.  

SEWA – MENYEWA

Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. Demikianlah uraian yang diberikan oleh pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perjanjian sewa-menyewa. Sewa-menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokok, yaitu barang dan harga.Pihak yang menyewakan diwajibkan : Menyerahkan barang yang disewakan itu kepada si penyewa Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.Bagi si penyewa ada kewajiban utama, ialah : Memakai barang yang disewa sebagai seroang “bapak rumah yang baik” (artinya merawatnya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri), sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama :
Kota :
Pertanyaan: