Rabu, 02 Maret 2016

Pentingnya Asas Hukum Sebagai Landasan Berfikir



Asas-Asas Hukum

image
A.Pengertian Asas Hukum
Kata �asas� memiliki beragam makna. Secara gramatikal, �asas� sering dipadankan dengan �alas� atau �landasan�. Makna �asas� menurut Ragam makna yang diberikan terhadap asas hukum oleh berbagai ahli hukum tetap dapat ditarik kesamaannya sebagai berikut:
1.Asas hukum merupakan landasan pembentukan hukum positif (tata hukum ).
2.Di dalam asas hukum terkandung cita-cita atau keinginan manusia yang hendak diraihnya. Hal inilah yang membedakan antara asas hukum dengan kaidah (norma) hukum.
3.Asas hukum merupakan ajaran yang berdaya cakup menyeluruh terhadap segala persoalan hukum di dalam masyarakat; ia merupakan sumber hukum material hukum yang diperlukan.
Tiga hal yang diuraikan terakhir tentang asas hukum sesuai dengan ciri-ciri asas hukum yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh sebagai berikut:
1.Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum; karena ia merupakan pikiran-pikiran dasar dari sistem hukum
2.Asas hukum bersifat lebih umum daripada ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan, karena undang-undang dan keputusan-keputusan merupakan penjabaran dari asas-asas hukum.
3.Asas hukum merupakan dasar dari sistem hukum
Menurut Kamus Bahasa Indonesia,Azas adalah dasar, alas, pedoman, suatu kebenaran yang menjadi pokok.Maka suatu azas huku adalah alam pikiran cita-cita yang melatar belakangi pembentukan norma hukum yang kongkrit.Agar azas hukum berlaku dalam praktek, maka isi azas hukum harus dibentuk lebih kongkrit.Bila azas hukum telah diberlakukan dalam bentuk norma hukum maka sudah dapat diterapkan pada peristiwanya.
Apabila asas hukum hendak dibedakan dengan aturan hukum, maka yang harus dikedepankan adalah bahwa asas hukum merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan aturan hukum merupakan sesuatu yang konkret dan khusus.Kemudian, ruang lingkup asas hukum yang lebih luas daripada aturan hukum. Asas hukum tidak bisa serta merta diterapkan dalam peristiswa konkret. Ia hanya dapat diterapkan secara tidak langsung dalam suatu penemuan hukum (rechtsvinding). Sementara itu, aturan hukum dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkret. Hal ini disebabkan aturan hukum mengandung isi yang lebih konkret.Di samping itu, jika aturan hukum dapat kehilangan daya berlakunya. Perlu ditegaskan, bahwa antara asas hukum yang satu dengan yang lainnya selalu berdampingan, sedangkan aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya dapat bertentangan dan mungkin saling meniadakan. Asas hukum merupakan aturan-aturan hukum yang berisikan ukuran nilai.
B.FUNGSI ASAS HUKUM
Fungsi asas hukum, yakni (yang utama) adalah memberikan arah (bimbingan, petunjuk) bagi legislator (pembuat perundang-undangan). Berlandaskan asas hukum, kerja legislator memiliki arah yang jelas sehingga sistem hukum yang akan dibangun dapat terwujud dengan baik. Arahan atau bimbingan tersebut berarti bahwa asas hukum menjadikan dirinya sebagai titik tolak (asal, landasan) bagi hukum positif yang akan dibuat. Arahan ini bertujuan supaya muatan hukum positif yang sedang dalm proses pembentukan berkualifikasi prokeadilan.
Di dalam kepustakaan lain dikatakan bahwa ada empat fungsi asas hukum bagi pembentukan hukum, baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh hakim (rechtsvorming), yaitu (1) pedoman bagi pembentuk undang-undang, (2) mencermatkan interpretasi atau penafsiran, (3) membantu pembentukan analogi, (4) memebantu memberikan koreksi terhadap perundang-undangan yang terancam kehilangan maknanya.
C.KLASIFIKASI ASAS HUKUM
Klasifikasi asas hukum dapat dikelompokkan menjadi (1) asas hukum objektif, dan (2) asas hukum subjektif. Masing-masing klasifikasi ini dapat dirinci lagi menjadi asas hukum rasional dan asas hukum moral.
Asas hukum objektif merupakan prinsip-prinsip dasar bagi pembentukan peraturan hukum. Sedangkan asas hukum subjektif merupakan prinsip-prinsip yang menyatakan kedudukan subjek hukum berkaitan dengan hukum.
Asas hukum rasional pada umumnya berkaitan erat dengan aturan hidup bersama yang masuk akal (rasional). Oleh karena itu, dijadikan titik tolak pembentukan hukum yang baik. Sementara itu, asas hukum moral lebih dipandang sebagai unsur ideal.
Asas hukum subjektif, baik yang bersifat rasional maupun moral, paling tampak pada perkembangan hukum di zaman modern sekarang ini, seiring dengan perkembangan tuntutan terhadap dihormatinya hak-hak asasi manusia.
Dalam pembentukan hukum, terutama hukum tertulis, telah diterima adanya postulat hukum, yakni berupa asas-asas hukum rasional maupun moral sebagai dasar pemikiran yang bersifat umum abstrak mengenai nilai-nilai yang dapat diterima akan dan dianggap wajar ditaati dalam kehidupan bermasyarakat.
Di samping klasifikasi sebagaimana diuraikan tersebut, asas hukum dapat dibedakan menjadi (1) asas hukum umum dan (2) asas hukum khusus. Asas hukum umum meliputi seluruh bidang hukum, sedangkan asas hukum khusus meliputi bidang-bidang hukum tertentu saja, misalnya bidang hukum tata negara, bidang hukum internasional, bidang hukum perdata, dan lain-lain.
Contoh asas hukum umum yang sangat terkenal diberikan oleh Paul Scholten dalam tulisannya yang berjudul �Rechtsbeginselen�. Ia sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga pasang asas hukum sebagai berikut
1.Kepribadian dan persekutuan (persoonlijkheid en gemmenschap).
2.Persamaan dan kewibawaan (gelijkheid en gezag).
3.Dua pasang asas hukum itu bernaung di bawah dan dikuasai oleh perbedaan antara baik dan jahat (de onderscheiding van goed en kwaad).
Hukum mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam mengatur hubungan ini harus ada titik keseimbangan antara manusia sebagai pribadi dengan manusia sebagai anggota masyarakat.
Secara prinsip diakui bahwa di hadapan hukum, seluruh manusia adalah sama. Akan tetapi, hukum juga mengakui adanya perbedaan-perbedaan sebagai perwujudan dari singgungan-singgungan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terwujud pada asas persamaan dan kewibawaan.Pada akhirnya dua keseimbangan tersebut dinilai dengan kebaikan dan menyikirkan kejahatan. Dalam hal ini hukum harus berpihak kepada kebaikan.
Selain itu, dalam berbagai kepustakaan, dikenal berbagai contoh asas hukum umum, misalnya  iktikad baik, kepatutan, memberikan kepada tiap orang yang menjadi haknya, kepastian hukum, kebaikan (keluhuran) manusia, hak-hak asasi manusia harus dihormati, dan lain-lain. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh asas hukum khusus.
image
D. Macam-macam Azas Hukum
PPT Azas Hukum Hukum Perdata DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Acara Perdata DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Pidana DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Acara Pidana DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Agraria DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Adat DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum ISLAM DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Tata Negara DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Administrasi Negara DOWNLOD
PPT Azas Hukum Hukum Internasional DOWNLOD  DOWNLOD
Azas-azas dalam hukum perdata antara lain :
1.Azas Pacta Sunt Servanda  : setiap Perjanjian itu mengikat seperti UU
2.Azas Contracts Vrij heid/party autonomis : kebebasan para pihak untuk berkontrak.
3.Azas T.e Goede Trow : iktikad baik
Ke 3 azas tersebut telah dicantumkan dalam bentuk peraturan yang kongkrit yaitu dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:
1)Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi para pihak yang membuatnya.
2)Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan ke 2 belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh UU.
3)Persetujuan harus dengan iktikad baik.
Azas dalam hukum Pidana antara lain :
1.Azas Geen Staaf Zonder Schuld : Tiada penjatuhan hukuman tanpa kesalahan
2.Azas Recht vaardigingsronden : mengahpuskan sifat melawan hukum dalam pasal 48, 49(1&2), 50, 51 KUHP.
3.Azas Schuld uits luitingsgronden : menghapuskan sifat kesalahan terdakwa dalam pasal 44 KUHP
4.Azas On vergolgbaarheid : pernyataan tidak menuntut dari penuntut umum disebabkan mengutamakan kemanfaatan.
5.Territorialiteets beginsel yaitu per Undang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi didalam wilayah negara yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia atau warga Negara Asing.
6.Personaliteit beginsel yaitu pembuat deliknya adalah Warga Negara Indonesia
7.Azas Universakiteit yaitu berlakunya UU Hukum Pidana diluar wilayah negara.
Azas-azas berlakunya suatu UU antara lain :
1.Azas Lex posterior derogate lege priori : yaitu Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-undang terdahulu sejauh mana mengatur obyek yang sama.
2.Azas Lex Superior de rogat legi inferior yaitu Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat lebih tinggi sehingga terhadap peraturan yang lebih rendah dan mengatur objek yang sama maka hakim menetapkan peraturan yang lebih tinggi.
3.Azas Lex Specialis de rogat legi generalis : yaitu Undang-Undang khusus mengenyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum.
Azas-azas dalam Jurisprudensi :
1.Azas Stare deceis/The binding force of precedent : azas hakim terkait kepada keputusan-keputusan yang lebih dahulu dari hakim-hakim yang sederajat atau oleh hakim yang lebih tinggi. Azas ini dianut oleh Negara anglo saxon seperti Inggris, Amerika Serikat. zas ini berlaku berdasarkan 4 faktor yaitu:
a)Bahwa penerapan pada peraturan-peraturan yang sama pada kasus-kasus yang sama menghasilkan perlakuan yang sama bagi siapa saja yang dating ke Pengadilan.
b)BAhwa mengikuti preceden secara konsisten dan menyumbangkan pendapat untuk masalah-masalah di kemudian hari.
c)BAhwa penggunaan criteria yang mantap untuk menempatkan masalah-masalah baru dapat menghemat tenaga dan waktu.
d)Bahwa pemakaian putusan-outusan yang terdahulu menunjukan adanya kewajiban untuk menghormati kebijaksanaan dan pengamalan pengadilan generasi sebelumnya.
2.Azas bebas yaitu kebalikan dari azas precedent yaitu : hakim tidak terkait debgab keputusan-keputusan Hakim sebelumnya pada tingkat sejajar atau kepada Hakim yang lebih tinggi.Asas ini dianut di Belanda dan Perancis, namunkebanyakan sudah tidak efektif lagi karena :
�Mencegah terjadinya kesimpang siuran keputusan hakim sehingga mengaburkan atau tidak tecapainya pengeluaran biaya yang tidak perlu karena pihak yang tidak puas akan naik banding.
�Mencegah pandangan tersebut maka Indonesia menggunakan ke dua azas itu.
Asas Legalitas
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai �tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya� tercantum dalam Declaration des Droits de l�Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP. Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.
Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
Kontroversi asas retroaktif
Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk (1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan; (2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama; (3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan (4) mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan empat alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. Menurut mantan jaksa penuntut dalam International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), Marie Tuma (2001), asas retroaktif dapat diterapkan terhadap situasi kekacauan yang menghancurkan manusia.
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika (1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun). Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, �Retroactive laws are considered to be objectionable and undesirable because it hurts our feeling of justice to inflict a sanction, especially a punishment, upon an individual because of an action or omission of which this individual could not know that it would entail this sanction.� Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif.
Keberatan terhadap asas retroaktif semakin nyata setelah larangan penerapan hukum yang berlaku surut dicantumkan dalam konstitusi suatu negara sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak hanya itu, sebagaimana terbaca dalam putusan MK, asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).
Penulis berpendapat, asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan na
Asas Non-Retroaktif
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): � Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan� (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; �Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.�
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang �perbuatan� dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan �keistimewaan� perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan �impunity� terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, �dalam keadaan apapun� tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB.
Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: �Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.� Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah �wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan�.
Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka � sekalipun dengan pro dan kontra � tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.
Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan � dalam pendakwaan dan putusan pengadilan � dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; �bahwa tindak pidana korupsi �tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas��. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau �extra-ordinary crimes� (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: ��karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa�.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan �extra ordinary crimes� sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M. Tulisan ini dimuat dalam Buku �Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi.
Asas Pembuktian Terbalik
Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata �Beban� ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.
ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).
Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime).
Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.
Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.
Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.
Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.
Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).
Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.
Kesimpulan
1.Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
2.Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Prof. Indriyanto Senoadji Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar PPs FH UI. Entri ini dituliskan pada Juni 2, 2008 dan disimpan dalam Asas Hukum.
Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik �liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip �due process� yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip �due process of law�. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari �budaya (masyarakat) Amerika�, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan �review� kepada �examining judges� untuk memeriksa kebenaran �review� dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai �hakim komisaris� atau semacam �examining judges� di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.
Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan �examining judges� untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk �non-derogable rights� seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: �Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap�.
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: �Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law�.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, �proven guilty beyond reasonable doubt�, yang berarti, �(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali�; bandingkan dengan rumusan kalimat,� (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap�!.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum �hak untuk dianggap tidak bersalah�, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip �due process of law�, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).
HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: � The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim�s rights during the whole of the criminal procedure�.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: �Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan: �Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person�.
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]
Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang �Hak dan Kewajiban Asasi�. Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip �due process of law�, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat �contradictio in terminis� karena selain mengandung prinsip �fair and impartial trial� bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , �unfair dan partial trial� terhadap pihak korban kejahatan.
Prinsip �praduga tak bersalah� sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham �individualistik plus�, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi �aku� dan �engaku�, harus disublimasi menjadi, �Aku dan Kita�. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip �due process of law� di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip �praduga tak bersalah� tsb, maka sepatutnya asas �praduga tak bersalah�, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, �Daad-Dader Strafrecht�[11] kepada paradigma baru, �Daad-Dader-Victim Strafrecht�.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang �fair and impartial� telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.
Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai �transactie� (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai �ganti rugi� bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ENDNOTE:
[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
[2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau � Criminal Justice System�, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model �Crime Control�, dan �Due Process� yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, �Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].
[3] Lawrence M.Friedman, �Total Justice�; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81
[4] P.J.P.Tak, �The Dutch Criminal Justice System�;Boom Juridische Uitgever; 2003; [5] ibid
[6] Caherine Elliot, �French Criminal Law�; Wilan Publishing Coy; 2003;
[7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12
[8] Braithwaite,di dalam karyanya, � Shame and Integration Process�
[9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan
[10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.
[11] J.Remmelink, �Hukum Pidana�:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia�; Gramedia, 2003; Sudarto, �Hukum dan Hukum Pidana; 1963.
[12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada �pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan�. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama :
Kota :
Pertanyaan: