Rabu, 02 Maret 2016

Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi



Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
image
Prosedur Mediasi Di Pengadilan diatur dalam PERMA NO 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Bahwa Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat diberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
bahwa penginterpretasian mediasi ke dalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan bersifat memutus (ajudikatif).
bahwa hukum acara berlaku, baik pasal 130 HIR maupun 154 RBg, mendorong menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur di Pengadilan Negeri.bahwa dalam proses mediasi di pengadilan setiap pihak wajib mengikuti prosedur dalam ketentuan PERMA No 1 Tahun 2008. Apabila tidak menumpuh prosedur mediasi megakibatkan putusan batal demi hukum.Dan hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajin menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Jenis perkara yang wajib dimediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan Niaga, pengadilan Hubungan Industrial, Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan usaha.
Pada Proses mediasi dilakukan secara tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.pada sidang yang ditentukan yang dihadiri para pihak hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Ketidak hadiran para turut terugat tidak meghalangi pelaksanaan mediasi.
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah di panggil secara patut.
Jika setelah dalam proses ada aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi pihak dalam proses mediasi maka mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
Jika mediasi mencapai kesepakatan peradamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Para pihak dapat megajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikluarkan akta perdamaian. kesepakatan perdamaian harus memuat Klausula pencabutan gugatan dan atau klausula.
Tidak mencapai kesepakatan. Jika setelah batas waktu maksimal 40 hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 14, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. segera setalah menerima pemebritahuan tersebut hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Upaya perdamaian berlangsung paling lama 14 hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada pihak hakim pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Terpisahnya mediasi dan litigasi. Jika pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. catatan mediator wajib dimusnahkan. Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. Mediator tidak dapat dapat dikenai pertanggung jawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
Perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dapat di tempuh sepanjang belum diputus. kesepakatan para pihak untuk menumpuh perdamaian wajib di sampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tingkat pertama.
Mediasi Secara Umum
Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bertikai yang tidak mampu menyelesaikan konflik akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses adjudikasi dimana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, dalam mediasi, pihak ketiga akan  membantu  pihak-pihak  yang  bertikai  dalam  menerapkan  nilai-nilainya  terhadap  fakta-fakta  untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi : hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik. Sifat pembeda dari mediasi adalah bahwa pihak-pihak yang bertikai selain sebagai pihak ketiga yang bersifat netral, akan memilih norma-norma yang akan mempengaruhi hasil pertikaian mereka.
Penggunaan mediasi itu bagian dari alternative dispute resolution (ADR) atau disebut juga dengan penyelesaian sengketa alternatif dan penerapa ADR itu telah berkembang lama. Misalnya, Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau �Minji Chotei Ho� pada tahun 1951.1  Di samping itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist  mengenai bagaimana mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (FA).2
Rakyat kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (gentry) menjadi institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan FA sebagai hukuman (HSING), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial. Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat.3
Pengalaman Jepang setelah Tokugawa, tepatnya pada era Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang telah berhubungan dengan dunia Barat, dimana orang-orang Jepang berangkat untuk belajar, misalnya ke Jerman mempelajari  antara  lain  perdagangan  maritim.  Tahun  1895  Jepang  menjadi  negara  Modern  dan  telah menganut sistim hukum modern. 4  Namun, pada saat sekarang ini Jepang dihadapkan dengan gelombang globalisasi, yang merupakan gelombang ketiga reformasi hukum secara besar-besaran setelah modernisasi Meiji. Globalisasi ekonomi   Jepang membuat �sistim� tradisional menjadi besar dan juga kini membutuhkan sistim baru yang menunjukkan standar global. Aktivitas perdagangan dan bisnis Jepang, baik di dalam dan luar Jepang, telah membuat makin banyak sengketa perdagangan dalam lingkup cross-border. Oleh karena itu, metode penyelesaian sengketa dalam perdagangan harus dikaji sesuai dengan standar global.5
Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrasi, tetapi konsep arbitrasi dapat ditafsirkan secara berbeda  oleh setiap kultur dan arbitrasi tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural.6
Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultul konsiliatori  (conciliatory  culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui  sebagai  mekanisme  yang  lebih  cocok  untuk  penyelesaian  sengketa.7   Hal  ini  sejalan  dengan  kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.8
Menurut pengamatan Yosunobu Sato, efisiensi penyelesaian sengketa yang lain, seperti arbitrasi, sekarang ini dipertanyakan keberadaannya. Sebab sama dengan litigasi, tidak fleksibel, mahal dan memakan waktu lama.9
Dengan demikian menurut Sato, sekarang ini tipe mediasi dan konsiliasi yang biasanya ditemukan dalam tradisi Asia Timur telah diambil sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses arbitrasi sebagai suatu pola �alternatif penyelesaian sengketa� (�alternative dispute resolution�/�ADR�). Cina, Hongkong, Korea dan Singapore secara formal telah mengadopsi sistim konsiliasi. Bahkan, bukan saja negara-negara Asia Timur, tetapi juga beberapa negara lain, termasuk yang menganut common law telah memadukan penyelesaian mediasi dan konsiliasi tersebut.10
Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti negosiasi, mediasi,    arbitrasi, mini-trial dan summary jury trial,11 dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi.   Legislasi yang dilaksanakan pada tahun 1960 telah menjamin berbagai perlindungan individu dari hak-hak konsumen sampai hak sipil. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak- hak tersebut melalui sistim hukum sudah menjadi beban yang rumit. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi orang Amerika yang mengupayakan sistim jusial baik secara sukarela (voluntarily) maupun tidak sukarela (involuntarily).12
Istilah ADR yang pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika �Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E. Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice� (�Pound Conference�) di Saint Paul, Minesota. Para akademisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama-sama mencari cara- cara baru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi gerakan ADR dan membentuk satu Komisi Khusus untuk Penyelesaian Sengketa (Special Committee on Dispute Resolution). Selanjutnya, Fakultas Hukum (Law School) di Amerika Serikat telah menambahkan secara bertahap ADR di dalam kurikulumnya dan sekarang ini Law School tersebut telah memberikan kursus ADR dalam bidang, seperti mediasi dan negosiasi. Beberapa kajian hukum diarahkan untuk studi ADR. Perkembangan ADR itu telah terjadi pula dalam graduate dan business schools.13
Berdasarkan latarbelakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan (dissatisfaction) masyarakat pada administrasi pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai  negara  telah  mengaturnya  melalui  undang-undang.  Misalnya,  Indonesia  mempunyai  Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang  Nomor  30  Tahun  199914   menyebutkan,  bahwa  alternative penyelesaian  sengketa  adalah lembaga  penyelesaian  sengketa  atau  beda  pendapat melalui  prosedur  yang  disepakati  para  pihak,  yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara komunikasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
SENGKETA
Sengketa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing para pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.15
Untuk sengketa tersebut,  cara terbaik mencegahnya, agar sengketa tidak terjadi adalah menjamin bahwa masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan pihak lain dan menangkap dengan jelas, misalnya perjanjian tertulis diantara para pihak. Di  samping itu, meningkatkan pengetahuan masing-masing pihak tentang kepentingan orang lain akan dapat menurunkan peluang terjadinya suatu sengketa. Perlu diingat bahwa sengketa dapat dengan mudah terjadi, apabila masing-masing pihak tidak saling mengenal antara satu sama lain dan bila mereka memaksakan format bisnisnya yang baru atau bila mereka berasal dari budaya yang berbeda.16
Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.17
Pada umumnya metode ADR sebagai berikut :

1. Negosiasi, yaitu proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasi, serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Orang melakukan negosiasi dalam situasi yang tidak dapat dihitung, dimana mereka perlu atau ingin sesuatu yang pihak lain dapat memberi dan menahannya; bila mereka ingin untuk mencapai  kerja  sama,  bantuan  atau  persetujuan  dari  pihak  lain;  atau  ingin  menyelesaikan  atau mengurangi sengketa atau konflik.18
2. Arbitrase, yaitu suatu institusi hukum ADR di luar pengadilan. Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut pengamatan Sandra Day O�Connor, arbitrase tersebut barangkali adalah bentuk ADR yang paling populer.19  Dalam proses arbitrase, pihak ketiga atau para pihak yang bersifat netral dan akan bertindak sebagai adjudicator atau decision-maker atas  suatu  kasus.  Selanjutnya  Ia  mengatakan, proses  arbitrase  tersebut  lebih  informal  dibandingkan dengan  pengadilan  biasa. Arbitrase  sering  dilaksanakan  di  kantor  arbiter  dan  pada  umumnya  hanya memerlukan waktu dua jam.20
3. Mediasi, yaitu seperangkat proses yang membantu para pihak yang bersengketa untuk sepakat dengan masalah-masalah tertentu.21  Gary Goodpaster mengatakan bahwa mediasi   merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah di mana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Tidak seperti  halnya dengan para hakim dan arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak; malahan  para  pihak  memberi  kuasa  pada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan problem diantara mereka. Selanjutnya Ia mengatakan pula �Asumsi � adalah bahwa pihak ketiga akan dapat mengubah dinamika kekuatan dan sosial atas hubungan konflik dengan mempengaruhi pendapat dan perilaku dari masing-masing pihak, dengan menyediakan  pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan suatu proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan itu membantu para peserta untuk menyelesaikan masalah   yang sedang diperebutkan.�22 Dalam tahun-tahun belakangan ini pengadilan, masyarakat dan industri semakin mengarah pada mediasi sebagai suatu metode yang lebih disukai dalam penyelesaian jenis sengketa  tertentu.23
4. Konsilisi, yaitu suatu aliansi dari dua pihak atau lebih yang sepakat untuk bergabung dalam tindakan bersama  atau  terkoordinasi  melawan  pihak  atau  koalisi  lain.24   Dalam  hal  ini  koalisi mengumpulkan, mengkatalisasi, memediasi dan meneruskan kepentingan.25  Gary Goodpaster mengatakan koalisasi ibaratnya halnya sel otak dalam suatu jaringan netral, koalisi merupakan prosesor titik waktu komunikasi dan  juga  informasi,  dan  lewat  interaksi,  koneksi.  Dan  efek  lapangan  mereka,  menjadi  persilangan pengaruh dan keputusan.26
MEDIASI
Mediasi secara umum dipahami sebagai proses intervensi partisipasi yang berorientrasi tugas, terstruktur dan jangka pendek. Pihak-pihak yang bertikai akan bekerjasama dengan pihak ketiga yang bersifat netral, yakni mediator untuk mencapai perjanjian yang disepakati bersama. Tidak seperti proses adjidikasi, dimana interventor pihak ketiga akan melahirkan keputusan, dan tidak ada kompulsi dalam mediasi, mediator akan membantu pihak dalam mencapai musyawarah. Pihak-pihak itu sendirilah yang akan membentuk perjanjiannya.
Proses mediasi dipandang sebagai proses yang lebih sederhana dari segi prosedur dan relatif lebih murah dibandingkan dengan pemecahan masalah adversarial. Proses mediasi ini akan memungkinkan pihak-pihak untuk menentukan apa yang memuaskan bagi mereka dengan mengarahkan masalah-masalah sempit dalam konflik untuk berfokus kepada situasi dan kondisi mendasar yang turut memberikan kontribusi terhadap konflik. Apa yang kelihatan seperti kasus harassment mungkin dapat berupa kisah keributan yang berlarut sampai bertahun-tahun diantara pihak-pihak. Dalam proses mediasi, pihak-pihak yang bertikai akan mampu mengatasi keributan yang berkepanjangan ini dan mengatasi bahaya dengan cara-cara yang tidak mungkin dalam proses adversarial. Mediator dapat membantu pihak-pihak dalam mengungkapkan agenda tersembunyi dan ungkapan emosional yang tidak terungkap melalui ketentuan pembuktian dan prosedur.
Dalam proses mediasi, pihak ketiga yang bersifat netral akan membantu mereka mencapai perjanjian yang adil. Inti aktifitas dalam proses ini adalah pertukaran informasi dan bargaining dan aktifitas ini dapat dilaksanakan dalam berbagai pertemuan bersama, dalam acara-acara pribadi yang dikenal sebagai caucuses atau keduanya. Proses mediasi biasanya dimulai dengan semua pihak-pihak yang bertikai yang memberitahukan kisah mereka dalam negosiasi langsung. Setelah pembahasan awal tentang setiap pandangan pribadi terhadap situasinya, dan bergantung kepada masalah yang dibahas, mediator dapat mengklasifikasikannya kedalam session caucus pribadi.
Pekerjaan mediator dapat dijelaskan secara umum sebagai berikut :
1.     Menyelidiki kasus
2.    Menjelaskan proses kepada pihak-pihak
3.    Membantu pihak-pihak dengan pertukaran dan bargaining informasi.
4.    Membantu pihak-pihak dalam mendefinisikan dan mendraft perjanjian.
Oleh karena itu, mediasi dapat membantu memecahkan konflik sebelum dilakukan litigasi.
REKOMENDASI
Penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau arbitrasi bersifat formal, memaksa, melihat masalah kebelakang dengan memperhatikan ciri pertentangan dan apa yang mendasarkan hak-hak. Dalam hal ini para pihak yang melitigasi suatu sengketa harus melalui prosedur pemutusan perkara yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ketat dan hak serta kewajiban hukum para pihak. Sebaliknya, ADR sifatnya tidak formal, sukarela, melihat kedepan, kooperatif dan berdasar kepentingan. Sementara itu ADR yang menjadi populer sekarang dan sudah ada di Indonesia.
Dalam konteks Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu dikembangkan pelatihan mediator. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 6 peraturan tersebut, dimana ditentukan bahwa mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator. Tentunya sertifikat itu harus terbit dari suatu pelatihan berkenaan dengan mnediasi. Selanjutnya, perlu pula dibuat kode etik profesi mkediator tersebut.*
Aspek-Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
dalam Bisnis Internasional
.
Memasuki di era globalisasi batas-batas antara negara yang satu dengan yang lain menjadi tidak jelas, dunia telah menjadi suatu perkampungan global dengan satu sistem perekonomian. Konsekuensi dunia bisnis sebagai suatu perkampungan global dalam kesatuan ekonomi tanpa batas, dengan sendirinya membawa bangsa Indonesia ke kancah bisnis global, perdagangan bebas, dan persaingan bebas. Intensitas hubungan perdagangan dan investasi antara masyarakat bisnis, baik domestik maupun internasional, semakin meningkat. Meningkatnya intensitas perdagangan dan investasi itu tidak hanya akan menimbulkan dinamika ekonomi yang makin tinggi, tetapi juga akan meningkat pula intensitas konflik- konflik (sengketa) di antara mereka. Menghadapi kondisi yang seperti ini, diperkirakan sistem peradilan, baik domestik maupun asing, tidak akan mampu memenuhi kebutahan masyarakat bisnis yang semakin kompleks. Penyelesaian melalui pengadilan kurang efektif dan efisien untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional karena waktunya lama, memakan tenaga, memerlukan biaya tinggi, dan sering putusannya kurang memuaskan. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif penyelesaian sengketa selain pengadilan. Dewasa ini di negara-negara lain telah dikembangkan suatu alternatif penyelesaian sengketa selain dari pengadilan dan arbitrase, seperti : mediasi, konsiliasi, minitrial, dan lain-lain. Arbitrase yang semula sangat efektif dan efisien untuk penyelesaian sengketa bisnis telah menjadi sangat formal dan kurang efektif. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa telah berkembang cult-up pesat negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Singapura, dan lain-lain. Mediasi dipilih dan dikembangkan karena waktunya singkat, biaya retatif lebih ringan, hasilnya memuaskan para pihak (win-win solution). Di negara-negara itu mediasi telah melembaga sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis. Secara internasional mediasi juga telah digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis oleh lembaga-lembaga penyelesaian sengketa bisnis internasional, seperti : American Arbitration Association (AAA), International Chamber of Commerce (ICC), UNCITRAL, World Intellectual Property Organization (WIPO), dan Commercial Arbitration and Mediation Centre for Americas (CAMCA). Mediasi telah dikenal dalam sistem hukum Indonesia, tetapi tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan oleh belum melembaganya mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis. Belum melembaganya mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis meliputi : peraturan perundang-undangan, prosedur pendayagunaan, sumber daya manusia, penyedia jasa mediasi, sumber dana, dan pemasyarakatan. Oleh karena itu pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia harus secara kelembagaan.
EndNote
Sumber Gambar : kompas.com
1 Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988), hal. 492.
2 Lihat. Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hal. 105. Lihat juga. Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973), hal.
3 Lihat. Erman Rajagukguk, Op. cit, hal. 105-106. Lihat juga. Chung-Li Chang, The Chinese Centry: On Their Role In 19TH Century Chinese Society, (Seatle: University of Washington Press, 1955), hal. 63.
4 Lihat. Dan Fenno Henderson, Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965), hal. 47.
5 Yasunobu Sato, �The Japanese Model of Dispute Processing,� Proceedings of the Roundtable Meeting, �Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,� 19-20 November 2001, Bangkok, hal. 152.
6 Ibid, hal. 156.
7 Ibid.
8 Miwa Yamada, �A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic
Development,� Proceedings of the Roundtable Meeting, �Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,� 19-20
November 2001, Bangkok, hal.
9Yasunobu Sato, Op. cit, hal. 157.
10 Ibid.
11 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co,
1992), hal. 2.
12 Ibid, hal. 4.
13 Ibid, hal. 5.
14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
15Richard Hill, �Overview of Dispute Resolution,� hal. 1, http/www batnet com/oikoumene/arbined3 html./
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999), hal. 1.
19 Sandra Day O�Connor, �Alternative Dispute Resolution (ADR),� hal, 1, http/igm-07.nlm.nih.gop/egi-biin/VERSON A/10696 O.igm.
20 Ibid.
21 Richard Hill, �Mediation and Lean Arbitration,� hal. 2, http://www. Sover.net/-bieder1/adr.html.
22 Gary Goodpaster, Op. Cit, hal. 241-242.
23 Ibid, hal. 242.
24 Ibid, hal. 165.
25 Ibid, hal. 163.
26 Ibid.
* Disampaikan pada Dialog Interaktif �PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Mediasi di Pengadilan�, tanggal 21
November 2003, Medan
** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari
Universitas Indonesia (2001), Pengajar pada USU/Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana USU, Dosen/Penguji pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Dosen pada Pascasarjana Universitas Pancasila
Jakata.
DAFTAR PUSTAKA
Chung-Li Chang, The Chinese Centry: On Their Role In 19TH  Century Chinese Society, (Seatle: University of Washington
Press, 1955)
Dan Fenno Henderson, Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965) Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973)
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000
Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999).
Hideo Tanaka, ed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama :
Kota :
Pertanyaan: